Siapa Abdul Muthalib?
Dikutip dari buku Membaca Sirah Nabi Muhammad oleh M. Quraish Shihab (2018), Abdul Muthalib lahir pada 479 M. Ia adalah kakek Nabi Muhammad Saw dari pihak ayah (Abdullah).
Ia memiliki nama asli Syaibah (atau Syaibatul Hamd) yang merupakan putra dari pasangan Hasyim bin Abdul Manaf dan Salma binti Amr dari Suku Bani Najjar.
Abdul Muthalib lahir di kota Yatsrib (sekarang Madinah) dan dibawa ke Mekkah oleh pamannya, yaitu Muttalib bin Abdul Manaf.
Orang-orang Mekkah mengira bahwa ia adalah budak Muttalib karena pakaiannya yang terlihat sederhana sehingga mereka memanggilnya dengan nama "Abdul Muttalib," yang berarti "budak Muttalib." Karena itulah nama Abdul Muthalib terus melekat padanya.
Abdul Muthalib memiliki sepuluh anak laki-laki, yaitu: al-Harits, az-Zubair, Hajl, Dhirar, al-Muqawwim, Abu Lahab, al-'Abbas, Hamzah, Abu Thalib, dan terakhir adalah Abdullah yang merupakan anak yang paling dicintainya yang tidak lain adalah ayah dari Nabi Muhammad Saw.
Di kehidupan Nabi Muhammad, Abdul Muthalib adalah sosok kakek yang sangat dekat dan menyayangi cucunya. Saat ayah Nabi Muhammad meninggal dunia sebelum nabi lahir, Abdul Muthalib mengambil alih tanggung jawab besar dalam merawat cucunya.
Tidak lama setelah ayah Nabi Muhammad meninggal, ibu Nabi Muhammad yaitu Aminah juga meninggal dunia ketika Rasulullah masih kecil.
Sejak itu, Abdul Muthalib tidak pernah lepas dalam memberikan perhatian dan kasih sayang kepada Muhammad kecil, ia menjaganya dengan penuh cinta hingga Nabi Muhammad beranjak dewasa.
Peperangan Bani Nadhir dan Daumah al-Jandal
Pada tahun ke-4 H terjadi beberapa pertempuran secara terpisah dengan beberapa kabilah di sekitar Madinah, sebab mereka memandang agama baru tidak menguntungkan mereka dan kemungkinan bersatu dengan pihak lain dan menyerang kota Madinah. Dua peristiwa Raji' dan Bi'r al-Ma'unah yang selama ini telah banyak membunuh para pendakwah dan mubaligh muslim melalui para pejuang kabilah yang bersatu, adalah sebagai bukti dari persatuan ini dan juga merupakan sebuah usaha Nabi saw untuk menyebarluaskan Islam di Madinah.[58] Di tahun ini terjadi salah satu pertempuran Nabi dengan salah satu kaum Yahudi bernama Bani Nadhir, ketika Nabi dengan mereka sibuk berdiskusi kaum yahudi menginginkan jiwanya; namun akhirnya mereka dengan terpaksa harus meninggalkan daerah mereka. [59]
Di tahun berikutnya, Nabi saw dan kaum muslimin pergi ke tempat sekitar perbatasan Syam bernama Daumah al-Jandal; ketika pasukan Islam sampai ke tempat itu, musuh berlarian dan Nabi bersama kaum muslimin kembali ke kota Madinah.[60]
Kelahiran dan Masa Kecil
Tahun kelahiran Nabi Muhammad saw tidak bisa diketahui dengan pasti. Ibnu Hisyam dan yang lainnya menulis bahwa tanggal kelahirannya terjadi pada Tahun Gajah; tetapi secara pasti tidak dapat juga ditentukan bahwa sebenarnya kapan dan pada tahun apa peristiwa perang gajah terjadi. Mengingat bahwa para sejarawan menulis tentang hari wafat Nabi Muhammad saw pada tahun 632, dan ketika wafat ia berumur 63 tahun, maka tahun kelahirannya dapat diperkirakan sekitar tahun 569- 570. [5]
Hari kelahiran Nabi besar Islam menurut pendapat masyhur Syiah adalah 17 Rabiul Awwal dan menurut pendapat masyhur Ahlusunah adalah 12 Rabiul Awwal.[6]
Nabi lahir di kota Makkah. Sebagian referensi meyakini bahwa tempat kelahirannya adalah Syi'ib Abi Thalib di rumah Muhammad bin Yusuf [7]
Alquran menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw masa kecilnya berlalu dalam keadaan yatim dan banyak dari sumber-sumber sejarah yang juga membuktikan hal tersebut. [8] Abdullah, ayah Muhammad saw, beberapa bulan setelah melakukan pernikahan dengan Aminah binti Wahb, kepala suku dari kabilah bani Zuhrah, pergi untuk melakukan perjalanan dagang ke Syam dan ketika pulang ia meninggal dunia di kota Yastrib. Sebagian para sejarawan menulis bahwa Abdullah meninggal dunia beberapa bulan setelah kelahiran Muhammad saw. Selanjutnya Muhammad saw menjalani masa penyusuannya pada seorang perempuan bernama Halimah, dari kabilah bani Sa'ad.
Di saat Muhammad berusia 6 tahun 3 bulan (dan menurut sebagian 4 tahun), ibunya Sayidah Aminah, telah membawanya ke Yatsrib untuk berkunjung ke rumah sanak dan familinya (dari pihak ibu Abdul Muththalib dari kabilah Bani Ady bin Najjar). Dan dalam perjalanan pulang ke Makkah, Sayidah Aminah meninggal dunia di daerah bernama Abwa' dan dipusarakan di sana. Sayidah Aminah ketika wafat berusia 30 tahun. [9] Setelah Sayidah Aminah wafat, Abdul Muththalib, kakek Nabi dari pihak ayah yang kemudian bertanggung jawab untuk mengasuh dan membesarkannya. Di usianya yang ke 8 tahun, Abdul Muththalib mengucapkan salam terakhirnya pada dunia dan Muhammad pun berada di bawah asuhan pamannya Abu Thalib. [10]
Berkenaan dengan kehidupan Nabi Muhammad saw banyak keterangan-keterangan dan penjelasan yang dimuat dalam teks-teks sejarah, dan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupannya tercatat lebih lengkap secara akurat dibandingkan dengan nabi-nabi lainnya. Namun meskipun demikian, masih ada beberapa hal yang belum jelas secara terperinci mengenai hal-hal partikular dari kehidupannya dan terkadang masih ada kesamaran-kesamaran dan perbedaan pendapat tentangnya.
Peristiwa Ghadir Khum
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Nabi turun di sebuah tempat daerah Juhfah yang tempat tersebut adalah jalan perpisahan warga Mesir, Hijaz dan Irak. Di sebuah lembah yang dikenal dengan nama Ghadir Khum, perintah Allah sampai kepada beliau supaya beliau melantik Ali as sebagai penggantinya dan dengan ibarat yang lebih jelas adalah nasib pemerintahan Islami harus sudah jelas setelah keberangkatan Nabi saw. Rasulullah dalam perkumpulan kaum muslimin yang para ahli sejarah menulis jumlah mereka sekitar antara 90 sampai 100 ribu orang, Nabi mendeklarasikan dan bersabda:
Setelah kepulangan Nabi dari ibadah haji, sementara Islam semakin hari semakin terlihat kuat dan perkasa. Kesehatan Rasulullah pun terancam, namun dengan adanya sakit yang dia derita, Nabi masih tetap mempersiapkan sebuah pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid untuk membalas kekalahan kaum muslimin di perang Mu'tah. Namun sebelum pasukan ini pergi untuk menjalankan perintah tersebut, Rasulullah saw telah pergi menemui Tuhannya. Dan disaat beliau pulang keharibaan-Nya, persatuan Islam telah terealisasi di seluruh semenanjung jazirah Arab dan Islam dibawa ke perbatasan pintu masuk dua kaisar agung Iran dan Romawi.
Pada permulaan tahun ke-11 H, Nabi terserang sakit dan kemudian wafat. Ketika sakitnya Nabi sudah mulai parah, ia naik ke mimbar dan berpesan kepada kaum muslimin supaya mereka saling kasih sayang dengan sesama mereka dan ia berkata: Jika seseorang mempunyai hak padaku maka ambillah atau halalkan dan jika seseorang merasa aku telah mengganggunya, sekarang aku siap untuk menerima balasan.[82]
Menurut penukilan Shahih Bukhari, salah satu dari buku-buku Ahlusunah yang paling penting, pada hari-hari terakhir kehidupan Rasulullah, ketika sekelompok sahabat pergi berkunjung, beliau berkata: Bawalah sebuah pena dan kertas untuk aku tulis sesuatu untuk kalian, yang dengannya kalian tidak akan pernah tersesat. Beberapa orang dari para hadirin mengatakan: penyakit ini telah mengalahkan Nabi saw (dan dia mengigau) dan kami telah memiliki Alquran dan itu sudah cukup bagi kami. Terdengar huru-hara dan pertengkaran di tengah-tengah para hadirin, beberapa orang dari mereka berkata: "Bawakan kepada Nabi supaya beliau menulis dan sebagian lainnya mengatakan hal yang lain lagi, Nabi saw berkata:" Bangun dan pergilah kalian dari hadapanku. "[83] Di dalam buku Shahih Muslim, yang juga merupakan salah satu buku yang paling penting dari Ahlusunah, seseorang yang menentang kata-kata Nabi diperkenalkan bahwa dia adalah Umar bin Khattab. Dalam buku yang sama, sebagaimana halnya Sahih Bukhari, Ibnu Abbas senantiasa terus menyayangkan kejadian ini dan menganggapnya sebagai bencana yang besar. [84]
Nabi saw wafat pada tanggal 28 Safar tahun 11 H/632, atau dalam sebuah riwayat pada tanggal 12 Rabiul Awwal pada tahun yang sama di usianya yang ke-63. Sebagaimana yang tertulis di dalam buku Nahjul Balaghah, ketika ajal Nabi datang, kepalanya berada di antara dada dan leher Imam Ali as.[85]
Dan ketika itu, di antara putra-putri beliau yang hidup hanya Sayidah Fatimah sa. Putra-putranya yang lain yang di antaranya adalah Ibrahim yang lahir satu atau dua tahun sebelum beliau wafat, semua telah meninggal dunia. Jasad suci Nabi saw dimandikan dan dikafani oleh Imam Ali as dan dibantu dengan beberapa orang dari keluarganya dan ia dimakamkan di dalam rumahnya yang sekarang berada di dalam Masjid al-Nabawi.
Sementara Ali bin Abi Thalib as dan Bani Hasyim masih sedang mengurus acara pemakaman Nabi, sebagian orang dari para pemimpin kaum tidak memberikan perhatian pada omongan Rasulullah yang telah beliau sampaikan dua bulan yang lalu (lihat: peristiwa Ghadir) dan mereka berpikir bahwa mereka harus menentukan taklif pemimpin umat. Sebagian dari penduduk Mekah (Muhajirin) dan Madinah (Anshar) mengadakan pertemuan di sebuah tempat yang terkenal dengan nama Saqifah Bani Sa'idah. Mereka berkehendak secepatnya untuk memilih seorang pemimpin untuk kaum muslimin. Adapun siapa yang akan dipilih, mereka saling berbincang dan berdebat.[86] Setiap satu dari dua belah pihak Muhajir dan Anshar mereka sendiri merasa lebih pantas dari yang lainnya. Penduduk Mekah berkata: Islam muncul di kota dan di tengah-tengah kami; Nabi dari kaum kami; Kami adalah keluarganya; kami lebih dahulu menerima agama ini di banding kalian, oleh karena itu kepemimpinan kaum muslimin harus dari para Muhajir. Anshar berkata: Penduduk Mekah tidak menerima ajakan Muhammad saw. Dengannya mereka tidak bertindak baik dan bahkan memusuhinya; sebagaimana mereka mampu mengusiknya sehingga dengan terpaksa dia meninggalkan Mekah dan datang ke sisi kami Yatsrib; oleh karena itu, kami dululah yang menolongnya dan kamilah yang memarakkan Islam, oleh karena itu kepemimpinan kaum muslimin harus dipilih dari Anshar. Sebagian orang dari Anshar sudah merasa puas jika urusan pemerintah diurus oleh kedua belah pihak Muhajir dan Anshar dan mereka berkata: Dari kami seorang pemimpin dan dari Muhajirin seorang pemimpin. Akan tetapi Abu Bakar tidak setuju dengan pendapat tersebut dan berkata: Langkah semacam ini akan merusak persatuan umat Islam. Pemimpin dari kami dan para pejabat pembantu dipilih dari kalangan Anshar dan tanpa persetujuan mereka segala urusan tidak sah dan kemudian menukil sebuah riwayat dari Nabi saw yang berkata:
Riwayat ini diambil dari banyak hadis, walaupun dari segi teks dan sanadnya (dengan ibarat semacam ini) dapat didiskusikan kembali, namun itu adalah sebuah perkataan yang sangat efektif dan memberikan pengaruh yang cukup besar pada pertemuan-pertemuan semacam ini sehingga mengakhiri perdebatan Anshar.[87]
Selain riwayat yang dikemukakan oleh Abu Bakar, sepertinya permusuhan lama yang terpendam di tubuh dua kabilah Anshar, Aus dan Khazraj juga, tidak sedikit pengaruhnya terhadap alur pemikiran Muhajirin, karena jika saja kepemimpinan sampai ke tangan Anshar, kedua belah pihak suku tersebut tidak akan puas dengan kepemimpinan kabilah yang lainnya.
Perkataan Basyir bin Saad dari kabilah Kazraj yang menyetujui perkatan Abu Bakar dan kepuasannya dengan kepemimpinan kaum Muhajirin adalah salah satu tanda bukti hal tersebut. Karena kepemimpinan kaum Muhajirin dan Quraisy adalah hal yang sudah diterima, akhirnya perbincangan tiba pada sosok pribadi. Dua tiga orang yang memegang kekuasaan penuh majelis tersebut setiap satu dari mereka berpandangan dan akhirnya Umar dan Abu Ubaidah Jarrah, menerima Abu Bakar sebagai pemimpin dan berbaiat kepadanya. Kemudian kebanyakan dari para hadirin juga mengikuti apa yang mereka lakukan.
Keesokan harinya Abu Bakar pergi ke Masjid Nabi. Umar mengutarakan sebuah ceramah mengenai keutamaan Abu Bakar dan keterdahuluannya dalam memeluk Islam dan layanan serta khidmat pertolongan yang ia lakukan untuk agama dan menyebutkan kebersamaannya dengan Rasulullah dari Mekah ke Madinah, dan meminta kepada masyarakat untuk membaiatnya. Dan masyarakat juga membaiatnya, kecuali sebagian dari Anshar dan keluarga-keluraga Nabi yang ada di majelis tersebut tidak berkenan membaiatnya dan Abu Bakar secara resmi menjadi khalifah. Dan karena pada khilafah Abu Bakar sebagian orang dari Muhajirin dan Anshar telah berkumpul di Saqifah dan telah menentukan seorang khalifah dan orang-orang yang lainnya juga menerima dengan apa adanya, maka perbuatan semacam ini telah menjadi sebuah tradisi sunnah.
Abu Bakar dalam majelis tersebut menyampaikan khutbahnya dan di sela-sela khutbah tersebut berkata: "Aku yang kalian pilih untuk menjadi pemimpin kalian bukanlah orang yang terbaik di antara kalian, dan aku siap melepaskan tanggung jawab ini dari pundakku. Aku berpegang pada Alquran dan Sunnah Nabi dalam mengatur urusanku dan urusan kaum muslimin."[88]
Badan Nabi saw tinggal di rumah Aisyah. Keluarga-keluarga beliau berada di sekelilingnya; fikih Islam berkata: Dalam upacara memandikan dan mensalati mayat tidak boleh ditunda-tunda; ini cermin bagi setiap muslim. Pemakaman Nabi Islam memiliki tradisi tersendiri. Mengapa para pembesar terbengkalai dari keutamaan ini, mungkin takut terkena fitnah dan mereka ingin secepatnya memilih pemimpin umat, namun apakah formalitas semacam ini telah menghabiskan banyak waktu?[89] Dari zaman itu sampai sekarang sudah lewat hampir lebih dari 14 abad. Mereka yang berada dalam perkumpulan itu dan menempatkan kedudukan mereka sebagai wakil kaum muslimin apakah mereka melakukannya demi Islam ataukah mereka khawatir akan pecahnya persatuan kaum muslimin, kita tidak tahu. Yang penting hal itu sudah sampai di sisi Allah sebagai Tuhannya dan perhitungannya ada pada-Nya. Namun dari sejak hari itu, telah muncul perpecahan di tengah komunitas kaum muslimin yang sama sekali tidak akan pernah bersatu.[90]
Dari kelompok yang enggan berbaiat adalah Saad bin Ubadah, ketua kabilah Khazraj yang berbaiat kepada Abu Bakar, dan ia tidak pernah hadir sama sekali dalam salat yang dia dirikan. Di masa-masa kekhilafahannya, Umar ia pergi ke Syam dan bermalam di suatu tempat bernama Hauran sebuah kota besar di bawah naungan Damaskus.
Di pertengahan malam orang-orang melihatnya terkapar luka dikarenakan panah. Orang-orang berkata: Para jin telah membunuhnya kemudian orang-orang dalam pembunuhannya membuat sebuah syair:
Selain Saad, Ali as dan Bani Hasyim serta beberapa orang dari para sahabat juga hingga beberapa waktu enggan berbaiat kepada Abu Bakar. Sebagian dari ahli sejarah menulis:
Dengan demikian, Abbas, Zubair dan yang lainnya merasa bimbang untuk berbaiat kepada Abu Bakar, namun akhirnya mereka memastikan diri untuk berbaiat dan pemerintahanpun terlaksana dengan baik.[91]
Nabi saw sebelum diutus, 40 tahun hidup di tengah-tengah masyarakat. Kehidupannya kosong dari kemunafikan, sifat-sifat yang kotor dan hal-hal yang tidak terpuji. Beliau dikenal dan dianggap oleh orang lain sebagai seorang yang jujur dan dipercaya (al-Amin). Nabi kemudian ketika menyampaikan risalahnya, mereka tidak mendustakan kepribadiannya akan tetapi mereka mengingkari ayat-ayat yang dibawanya. Hal ini juga disinggung dalam Alquran:
Juga dinukil dari Abu Jahal yang berkata: Kami tidak mendustakanmu, akan tetapi kami tidak menerima tanda-tanda yang kamu bawa. [93] Nabi saw di permulaan risalahnya kepada Quraisy, berkata:
Ketika itu Nabi mengatakan bahwa beliau telah diutus oleh Allah untuk memberi peringatan kepada masyarakat.
Selain latar belakang yang baik, urgensitas kabilah dan keluarga Nabi saw dan juga beliau dari kalangan Arab sendiri memiliki peran penting pada kedudukan dan keberhasilan Nabi. Kabilah Quraisy sejak dulu dari tahun-tahun sebelumnya adalah sebuah kabilah yang sudah tersohor dan memiliki kedudukan penting di kalangan Arab. Kepentingan ini telah menyebabkan banyak dari para kabilah yang menerimanya sebagai kabilah yang tak tertandingi sehingga pada batas-batas tertentu sebagian kabilah mengikutinya dalam berbagai urusan. Dari sisi lain, kakek buyut Nabi (Qushai bin Kilab, Hasyim dan Abdul Muththalib adalah sosok-sosok pribadi terkenal yang memiliki kemuliaan dan keagungan.
Komunitas semenanjung Arab pada waktu itu, adalah sebuah komunitas tertutup dan tidak memiliki hubungan kebudayaan tertentu dengan daerah-daerah lain. Kondisi semacam ini memunculkan semangat Arabisme secara kuat di dalam diri mereka dan hal ini menyebabkan mereka tidak dapat menerima orang lain karena mereka orang lain dan mereka hanya menerima apa yang datang dari diri mereka sendiri. Barangkali ayat dibawah ini mengisyaratkan hal ini:
Mengingat bahwa penduduk Arab adalah audien pertama Islam, maka jati diri Nabi saw sebagai orang Arab telah menambah kuat penerimaan pesan dan nasehatnya di kalangan mereka. Alquran juga telah mengisyaratkan hal tersebut.[96]
Keistimewaan yang paling tinggi dan yang paling mencolok dari sosok pribadi Nabi saw adalah dimensi akhlak yang beliau sandang. Alquran dalam hal ini mensifati: وَ إِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظيمٍ Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [97]
Dalam mensifati prilaku dan sifat-sifat Nabi saw mereka mengatakan: Dia kebanyakannya diam dan tidak berbicara kecuali seperlunya saja. Dan sama sekali jarang membuka mulutnya. Banyak tersenyum dan tidak pernah tertawa terbahak-bahak, ketika hendak menghadap seseorang beliau dengan seluruh tubuhnya berbalik. Dia sangat senang terhadap kebersihan dan aroma yang harum, yang mana jika seseorang melewati sebuah tempat yang pernah didatanginya, seakan-akan merasakan kehadirannya di tempat tersebut karena aroma yang tertinggal masih terasa.
Dia hidup dalam puncak kesederhanaan dan makan di atas lantai dan tidak pernah sombong. Dia makan tidak pernah sampai kenyang. Dan di sebagian besar waktu, khususnya ketika dia baru memasuki Madinah, dia mampu menahan rasa laparnya. Dengan ini semua, dia tidak hidup seperti para pendeta, dan dia berkata kepada dirinya sendiri bahwa dia akan memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan dunia, dia juga sering berpuasa dan beribadah.
Prilakunya dengan sesama muslim bahkan dengan non muslim berlaku dengan cara yang bijaksana, penuh derma, penuh kasih dan pemaaf. Perjalanan hidup dan kehidupannya begitu menyejukkan hati kaum muslimin sehingga sampai dinukil ke pelosok-pelosok daerah dan hal tersebut sampai sekarang menjadi panutan dan tauladan bagi kita semua. [98]
Amirul Mukminin Ali as dalam mensifati paras Nabi saw mengatakan: "Siapa saja yang melihatnya sebelum mengenalnya, ia akan merasakan kewibawaannya. Dan siapa saja yang berinteraksi dengannya dan atau mengenalnya ia akan menyukainya. [99]
Nabi membagi pandangannya di tengah kaum muslimin dan melihat mereka dengan kadar yang sama. [100] Dia sama sekali tidak berjabatan tangan dengan seseorang dan kemudian melepas tangannya kecuali orang tersebut melepaskan tangannya terlebih dahulu. [101]
Nabi saw dengan siapa saja berkomunikasi sesuai dengan kadar kapasitas akal orang yang diajak bicara. [102] Pengampunan dan pemaafannya bagi orang yang telah menzaliminya begitu tersohor [103] sehingga Wahsyi (pembunuh pamannya Hamzah) dan Abu Sufyan musuh utama Islam juga dimaafkan.
Nabi saw hidup dalam kezuhudan. Di sepanjang umurnya, dia tidak memiliki sesudut kamarpun untuk dirinya dan kamar-kamar sederhana yang terbuat dari tanah, yang ada di samping masjid itu adalah khusus milik istri-istrinya. Atapnya terbuat dari batang kurma dan pintunya digantungi korden yang terbuat dari bulu-bulu kambing atau bulu-bulu unta sebagai ganti dari pintu kayu. Kemudian beliau juga mempunyai sebuah bantal kepala yang isinya penuh dengan daun-daun kurma. Kasur dari kulit yang dipenuhi dengan daun-daun kurma yang mana sepanjang umur, beliau tidur di atasnya. Selimutnya terbuat dari kain yang kasar yang membuat badan gatal dan beliau juga memiliki kain selempang yang terbuat dari bulu unta. Padahal ketika itu, beliau baru saja menyelesaikan peperangan Hunain yang mana harta rampasan dari perang tersebut adalah empat ratus ribu unta, lebih dari empat puluh ribu domba, emas dan perak dengan kadar yang tidak sedikit, yang telah beliau bagikan ke sana dan ke sini.
Makanannya dikirim dari rumah, perlengkapan serta baju yang dipakainya sangat zuhud. Apalagi lewat berbulan-bulan di rumahnya api tidak menyala untuk memasak, makanannya secara keseluruhan adalah kurma, dan roti yang terbuat dari tepung ju (seperti gandum). Dua hari berturut-turut beliau tidak pernah makan dengan perut kenyang. Beliau sehari dua kali tidak beranjak dari taplak meja makan dengan perut kenyang. Sering kali beliau dan keluarganya malam-malam tidur dalam keadaan lapar. Suatu hari Fatimah membawa roti ju untuknya dan berkata: Aku membuat roti dan hatiku tidak puas jika aku tidak membawakannya untukmu. Makanlah itu dan lantas Nabi berkata: "Hanya makanan inilah yang ayahmu makan dari semenjak tiga hari yang lalu". Suatu ketika di perkebunan kurma salah satu dari sahabat Anshar sedang makan kurma, beliau bersabda: "Sudah hari keempat aku tidak makan". Terkadang saking laparnya, dia meletakkan batu ke perut dan mengikatnya (sehingga rasa lapar dapat teratasi). Ketika dia wafat perisainya digadaikan dengan tiga puluh canting ju kepada seorang Yahudi. [104]
Peperangan dan konflik di Madinah
Semenjak Nabi saw mengikat perjanjian Aqabah kedua dengan penduduk Madinah, telah diperkirakan bahwa pertempuran berdarah tak akan terelakkan lagi.[52] Perang pertama yang diikuti Rasulullah atau dikenal dengan ghazwah terjadi pada tahun kedua setelah hijrah di bulan Safar yang mana ghazwah tersebut dinamakan Abwa dan atau Waddan. Pada pengiriman pasukan kali ini tidak terjadi pertempuran. Setelah itu terjadi ghazwah Buwath pada bulan Rabi al-Awal yang juga tidak terjadi pertempuan di dalamnya. Pada Jumadil Awal diberitakan bahwa akan ada rombongan Quraisy yang dipandu oleh Abu Sufyan dari Mekah menuju Syam. Nabi menyusul mereka sampai ke tempat yang bernama Dzat al-'Asyirah namun rombongan itu sudah melewati tempat tersebut. Peperangan gazwah ini tidak memberikan hasil karena ada beberapa orang yang menjadi mata-mata musuh di dalam kota Madinah yang memberitahu tentang rencana-rencana Nabi saw dan sebelum pasukan bergerak, mata-mata itu menyampaikan diri mereka menuju rombongan musuh dan mereka diberitahu tentang bahaya yang akan menghadang. Dengan begitu para rombongan merubah haluan perjalanan mereka atau lebih mempercepat waktu perjalanan mereka.[53]
Akhirnya pada tahun kedua hijriah tersebut, terjadilah pertempuran militer yang sangat penting antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Dalam pertempuran yang dikenal dengan perang Badar, meskipun jumlah kaum muslimin lebih sedikit dari orang-orang Mekah, namun mereka mampu meraih kemenangan dan banyak dari kaum musyrikin yang tewas terbunuh dan menjadi tawanan dan selainnya melarikan diri.[54] Dalam perang ini Abu Jahal dan sebagian lainnya yang berjumlah kurang lebih 70an orang dari para pembesar dan keturunan para pembesar tewas dan sejumlah itu pula tertawan. Dan dari pihak muslimin hanya 14 orang yang syahid. Dalam peperangan Amirul Mukminin Ali as, selain pengorbanan-pengorbanan dan bantuan serta pertolongan yang beliau lakukan untuk Nabi saw, beliau juga membentengi pasukan Islam dan berhasil membunuh beberapa orang (36 atau 37 orang Quraisy terbunuh di tangannya) dari pejuang-pejuang Mekah yang terkenal dengan keberanian mereka dan dengan keberanian beliau jugalah kemenangan pasukan Islam berhasil diraih.[55]
Peristiwa-peristiwa setelah Fathu Mekah
Sementara belum 15 hari Nabi saw tinggal di Mekah sebagian besar dari kelompok kabilah jazirah Arab yang belum menjadi muslim telah bersatu untuk menentang beliau. Nabi saw dengan laskar pasukan besar dari kaum muslimin keluar dari Makah dan ketika mereka sampai ke sebuah tempat bernama Hunain, para musuh yang telah bersembunyi mengindap di lembah-lembah sekitar kota, mulai memanahi para pasukan. Hujan panah yang begitu dahsyat membuat para pasukan Islam mundur, sebagian kecil dari mereka menetap tinggal, namun akhirnya mereka juga lari kembali dan kemudian menyerang pasukan musuh dan mereka mengalahkannya.[73]
Perang Tabuk adalah salah satu peristiwa yang terjadi pada tahun ke-10 H. Berita sampai kepada Rasulullah bahwa kaum Romawi telah menyiapkan pasukan yang cukup besar di sebuah tempat bernama Balqa dan ingin menyerang kaum muslimin. Musim panas yang begitu sulit menyengat dan merupakan masa matangnya buah-buahan dan kebanyakan dari masyarakat ingin tinggal beristirahat di rumah mereka masing-masing. Dan pada Baitul Mal juga tidak terlihat adanya kekayaan. Nabi seperti biasa tidak pernah menentukan tujuan ketika mengirim laskar pasukan, namun pada perang Tabuk ini, karena kekhawatiran dan kesulitan yang mungkin terjadi, beliau mengumumkan bahwa kita akan pergi berperang melawan kaum Romawi. Sebagian kelompok mengatakan bahwa: Sekarang ini musim panas dan jangan pergi pada musim ini! Kelompok ini adalah kelompok orang-orang yang dikecam oleh ayat Alquran. Allah swt berfirman:
Para ahli sejarah menulis bahwa pasukan Islam dalam peperangan ini mencapai tiga puluh ribu orang. [75] Dan ini adalah paling tingginya angka pasukan laskar dalam peperangan Islam yang diikuti Rasulullah saw, bahkan paling tingginya angka pasukan yang terkumpul di tanah Arab hingga hari itu. Pada pengiriman pasukan laskar pada kali ini Nabi menetapkan Ali bin Abi Thalib untuk tinggal di Madinah untuk mengurusi segala keperluan rumah tangga beliau. Orang-orang munafik berkata, dia tidak ingin dalam perjalanan ini Imam Ali ikut bersamanya karena itu, Ali as mengadu kepada Nabi tentang hal ini, lantas beliau bersabda: "Aku telah menjadikanmu sebagai khalifahku bahwasannya engkau bagiku bagaikan Harun bagi Musa, hanya saja setelahku tidak ada Nabi." Laskar pasukan sangat letih dan lelah kehausan dan ketika mereka sampai ke Tabuk ternyata berita bahwa orang-orang Romawi telah siap untuk menyerang tidaklah benar.
Perang Tabuk adalah perang terakhir kaum muslimin dengan kaum non muslim dalam kehidupan Rasulullah. Sejak saat ini seluruh jazirah Arab menyerah. Setelah perang inilah setiap kabilah datang ke hadapan Rasulullah dan mengirim perwakilan mereka untuk menyatakan kepatuhan kabilah mereka dan menerima Islam sebagai keyakinan mereka. Dan bisa dikatakan kira-kira seluruh kabilah secara umum telah menjadi muslim. Berdasarkan inilah tahun ini dinamakan 'Amul Wufud(Wufud kata jamak dari "wafd" yang berarti sekelompok perwakilan atau para tamu).[76]
Setelah perang Tabuk, Islam di seluruh jazirah Arab semakin maju berkembang. Sejak saat itu, senantiasa berbagai delegasi dari para kabilah datang ke Madinah dan memeluk agama Islam. Dalam prakteknya, Nabi saw selama berada di tahun ke-10 yang telah disebut sebagai "Amul Wufud" ini, beliau selalu berada di Madinah dan menerima delegasi para kabilah.[77] Begitu juga di tahun ini Nabi saw mengadakan perundingan bersama orang-orang Kristen Najran,[78] pergi menunaikan ibadah haji dan di perjalanan pulang Nabi mengumunkan bahwa Ali bin Abi Thalib as sebagai pengganti dan pemimpin kaum muslimin setelahnya di sebuah tempat bernama Ghadir Khum.[79]
Di tahun ke-9 H, Nabi Muhammad saw bersamaan dengan korespondensinya dengan para kepala pemerintahan dunia, menulis surat kepada uskup Najran dan meminta para warga Najran untuk menerima Islam. Para pengikut Kristen memutuskan untuk mengirim tim ke kota Madinah untuk berbicara dengan Nabi dan menganalisa ucapan dan perkataannya.
Dewan utusan delegasi bertemu dengan Nabi di Masjid Madinah. Setelah kedua belah pihak bersikeras melegitimasi keyakinan dan kebenaran mereka, masalah berakhir dengan sebuah keputusan bahwa mereka di penghujung saling mengutuk (Mubahalah), dan diputuskan bahwa hari berikutnya, semua harus bersiap-siap pergi ke luar kota Madinah, di kisaran tepian gurun pasir supaya melakukan Mubahalah. (saling mengutuk)
Dini harinya, Nabi saw datang ke rumah Imam Ali as. Dia memegang tangan Imam Hasan as dan memeluk Imam Husain as, dan pergi keluar dari Madinah bersama-sama dengan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah sa untuk bermubahalah. Karena orang Kristen melihat mereka, mereka menolak untuk melakukan mubahalah dan menuntut untuk melakukan rekonsiliasi.[80]
Persiapan-persiapan Hijrah
Peperangan Ahzab, Bani Quraizhah dan Bani Mushtaliq
Abu Sufyan pada tahun ke-4 H membawa sekelompok orang ke daerah Badar, namun di pertengahan jalan berubah pikiran dan kembali. Kepulangannya ini dalam pandangan para pembesar Quraisy, membuat posisi kepemimpinannya menjadi lemah dan terpaksa dia harus menyiapkan pasukan yang sangat besar dan terdidik untuk mengembalikan kepercayaan para pembesar Quraisy. Dan akhirnya pada tahun ke-5 H, sebuah pasukan besar antara tujuh hingga sepuluh ribu orang tentara telah disiapkan yang mana enam ratus orang berkuda termasuk dari pasukan tersebut. Dan pasukan besar ini berjalan menuju Madinah. Karena pasukan ini terdiri dari berbagai macam kabilah yang berbeda maka perang ini dinamakan perang Ahzab. Selain itu pula, dalam peperangan ini sekelompok dari kaum Yahudi Bani Nadhir yang tinggal di kota Khaibar, telah bersatu bersama kaum Quraisy dan kabilah Ghatafan untuk menyerang Nabi. Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah yang tinggal di sekitar Madinah juga, yang berjanji tidak akan membantu kaum Quraisy, berkhianat dan bersatu dengan penduduk Mekah. Dalam menghadapi pasukan yang sedemikian besar, jumlah pasukan Nabi hanya tiga ribu orang tentara, sejumlah darinya mengendarai kuda dan yang lainnya berjalan kaki.
Sikap penduduk Madinah kali ini berbeda dengan perang Uhud, mereka menerima jika kota harus berada dalam keadaan pertahanan. Di dalam perang ini Salman al-Farisi memainkan peranannya dan menurutnya untuk menjaga kota sebaiknya di sekitar kota dibuatkan sebuah parit dengan ukuran yang besar dan dalam. Madinah dari tiga arah sisinya telah terjaga dengan perkebunan kurma dan bangunan-bangunan dan musuh tidak mampu menyerang dari tiga arah sisi tersebut; dan dengan membuat parit di sebelah utara, tempat itu pula aman dari serangan musuh yang berkuda. Sebelum pasukan musuh sampai mendekati Madinah, pekerjaan menggali parit pun selesai. Ketika para musuh sampai di sana mereka terkejut dan tercengang melihat keadaan sekitar mereka, karena sampai saat itu, mereka belum pernah melihat penghalang yang begitu canggih dalam peperangan. Para penunggang kuda tidak mampu menerjang parit, jika saja mampu maka para pemanah tidak membiarkan mereka hidup.
Amr bin Abdiwudd dan Ikrimah bin Abi Jahal berencana untuk melewati parit. Amr yang terkenal dengan keberaniannya tewas di tangan Imam Ali as. Tampaknya perang Khandaq untuk kota Madinah sangat merugikan. Pasukan dalam jumlah yang kecil berhadapan dengan pasukan tentara musuh yang begitu besar, apa yang dapat dilakukan? Mulanya Nabi berkehendak memisahkan kabilah Ghatafan dari kumpulan pasukan. Kepada mereka dikirim sebuah pesan sepertiga dari penghasilan kota Madinah akan menjadi pendapatan mereka dengan syarat mereka jangan bekerjasama dengan kaum Quraisy. Kaum Anshar berkata kepada Rasulullah: Perdamaian ini apakah merupakan wahyu dari langit? Beliau menjawab: tidak. Mereka berkata: Kalau begitu kami tidak bisa menerima kekalahan ini. Pada waktu dimana Allah tidak memberikan petunjuk kepada kami untuk masuk agama Islam, kami tidak melakukan sesuatu yang hina, hari ini Allah telah membahagikan kami dengan perantaramu bagaimana mungkin kita menjadikan diri kita hina. Pada akhirnya perdamaian itu tidak dilakukan.
Namun satu dua orang dari kaum muslimin yang tidak pernah menampakkan keislamannya, dari satu sisi mengikat hubungan dengan Bani Quraizhah dan dari lain sisi berhubungan dengan Bani Ghatafan. Dan kedua orang tersebut satu sama lain saling curiga. Ketentuan langit juga mendukung; angin dan udara dingin yang menusuk membuat sulit pekerjaan para pasukan Mekah. Abu Sufyan memerintahkan pasukan untuk kembali dan setelah lima belas hari pengepungan Madinah pun bebas.
Akhir dari perang Ahzab bagi kaum muslimin begitu memberi harapan, namun bagi penduduk Mekah merupakan musibah yang sangat berat. Sudah dipastikan para pedagang Quraisy pasar Madinah telah lepas dari tangan mereka untuk selamanya. Selain itu, kekuatan Madinah membahayakan garis perdagangan Mekah yang menuju ke Suriah. Para pedagang Quraisy tidak lagi bisa melakukan pekerjaaan mereka dengan leluasa. Posisi kepemimpinan Abu Sufyan dalam pandangan Quraisy guncang. Kebesaran Quraisy di mata para kabilah selainnya jatuh. Terjadinya sebuah peristiwa yang tidak disangka-sangka, dimana pasukan yang begitu besar dapat mereka usir dari pintu-pintu gerbang kota dengan membawa kekalahan. Sebagian orang-orang Arab badui mulai condong kepada agama Islam dan mereka meyakini Islam memiliki kekuatan yang luar biasa yang dapat menolong kaum muslimin dan setelah peperangan ini perkara berubah menguntungkan kaum muslimin.[61]
Setelah perang Ahzab berakhir, Nabi pergi menemui kaum Yahudi Bani Quraizhah. Selama orang-orang Yahudi tidak bangkit menyerang kaum muslimin, maka mereka tetap akan aman, hal itu dikarenakan perjanjian Madinah. Namun mereka telah bersatu dengan musuh-musuh Islam dalam perang Ahzab. Kelompok ini tentu saja perlu dikhawatirkan dan juga tidak bisa dianggap mudah. Nabi pergi mendatangi dan mengepung mereka, yang pada akhirnya setelah 25 malam, mereka menyerah. Kabilah Aus yang memiliki perjanjian dengan Bani Quraizhah berkata kepada Nabi: Bani Quraizhah, mereka adalah pihak seperjanjian dengan kami dan mereka menyesal dengan apa yang telah mereka perbuat; perlakukanlah kepada pihak-pihak seperjanjian kami sebagaimana engkau perlakukan kepada pihak-pihak seperjanjian kaum Khazraj yaitu Bani Qainuqa, sebagaimana kita lihat bahwa Rasulullah sebagian kelompok dari para tawanan Yahudi diberikan kepada Abdullah bin Ubay sebagai pihak seperjanjian mereka. Kemudian Nabi menyerahkan pemutusan hukuman para tawanan Bani Quraizhah kepada Sa'ad bin Muadz, ketua kabilah Aus. Bani Quraizhah pun setuju atas keputusan tersebut. Sa'ad berkata: Pendapatku adalah semua laki-laki Yahudi harus dibunuh, dan perempuan-perempuan mereka beserta anak-anak mereka ditawan. Kemudian mereka menghukumi menurut pendapat Sa'ad dengan menggali parit dan semua lelaki Bani Quraizhah di samping parit dihukum dengan potong leher.[62]
Tentunya para ahli sejarah mengenai cerita di atas berbeda pendapat. Doktor Syahidi menulis: Tampaknya cerita Bani Quraizhah dimanipulasi oleh seorang pembawa cerita dari keturunan Khazraj beberapa tahun setelah kejadian sejarah dan ketika keturunan yang sekarang ini berada dalam pengepungan itu, sehingga ditampakkan kemuliaan kabilah Aus di sisi Nabi saw tidak setara dengan kabilah Khazraj dan untuk itulah Nabi tidak membunuh pihak seperjanjian kabilah Khazraj, namun memenggal kepala pihak seperjanjian kabilah Aus. Dan juga berkehendak menampakkan bahwa kepala suku kabilah Aus telah menjaga pihak seperjanjiannya.[63]
Di tahun ke-6 H, kaum muslimin berhasil mengalahkan Bani Mustaliq yang telah berkumpul untuk menentang Nabi saw. [64]
Pada tahun ke-7 H, Nabi saw mendapatkan kemenangan atas kaum Yahudi Khaibar yang mana sebelumnya telah beberapa kali melakukan perjanjian dengan para musuh untuk menentangnya dan Nabi saw merasa tidak tenang dari pihak mereka. Benteng Khaibar terletak di dekat kota Madinah, berhasil ditaklukkan kaum muslimin dan Nabi saw tidak menolak jika orang-orang Yahudi melanjutkan pekerjaan mereka dengan berkebun di ladang dan setiap tahun mereka membayarkan sebagian hasilnya kepada kaum muslimin.[65]
Pekerjaan membuka salah satu benteng Khaibar pada perang Khaibar, adalah hal yang sangat sulit, Nabi secara bergantian mengirim Abu Bakar dan Umar untuk membuka benteng tersebut, namun mereka tidak sanggup dan Nabi saw berkata:
Keesokan harinya Nabi memanggil Ali, dan sakit mata yang dideritanya sembuh diobati dengan air ludah Nabi dan berkata kepadanya: Ambillah bendera ini dan majulah, Allah akan memenangkanmu.
Menurut riwayat Ibnu Ishak dari Abu Rafi': Ali as pergi mendekati benteng dan berperang dengan mereka dan dikarenakan perisai yang dipakainya terlepas dari tangannya akibat pukulan seorang Yahudi, pintu salah satu benteng diangkat dan dijadikannya sebagai perisai dan sampai saatnya pembukaan selesai, pintu tersebut masih di tangan beliau dan seusai peperangan dia melemparkannya. Abu Rafi' berkata: Aku dan tujuh orang lainnya setiap kali hendak mengangkat pintu tersebut dari tempatnya tidak mampu kami lakukan.[66]
Perang Ahzab, menyerahnya kaum Yahudi Bani Quraizhah dan dua tiga perang yang terjadi pada tahun ke-6 H yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dan keuntungan-keuntungan harta rampasan perang yang berhasil diraih mereka, telah membuat kekuatan Islam semakin meningkat dalam pandangan penduduk semenanjung Arab, sehingga banyak dari kabilah-kabilah masuk Islam atau bersekutu dengan kaum muslimin.[67]
Di bulan Dzulkaidah tahun ke-6 H, Nabi beserta seribu limaratus orang dari penduduk Madinah berjalan menuju kota Mekah guna menunaikan ibadah umrah.
Quraisy yang tahu akan tujuan Nabi mereka telah siap untuk menghadang beliau. Pertama, mereka mengirim Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abi Jahal supaya mencegah sampainya Rasulullah ke Mekah. Nabi saw ketika itu berhenti di sebuah tempat bernama Hudaibiyah dan permulaan daerah kawasan haram dan mengirim pesan kepada penduduk Mekah bahwa kami datang untuk berziarah bukan untuk berperang. Quraisy tidak menerima. Akhirnya antara beliau dan perwakilan penduduk Mekah menandatangani sebuah surat perdamaian yang dengan surat tersebut antara kedua belah pihak tidak akan mengadakan peperangan selama sepuluh tahun.
Di tahun ini, kaum muslimin tidak berhak masuk ke Mekah, akan tetapi di tahun mendatang pada saat-saat seperti ini penduduk kota akan keluar dari kota Makkah dan kota akan diserahkan kepada kaum muslimin selama tiga hari sehingga mereka dapat berziarah dengan leluasa. Satu lagi dari butir surat perjanjian ini adalah: Siapa saja dari penduduk Mekah yang datang kepada Muhammad maka dia harus kembali ke Mekah, tetapi jika seseorang yang pergi dari Madinah ke Mekah, Quraisy tidak mesti mengembalikannya. Butir lainnya dari surat perjanjian itu adalah setiap kabilah bebas untuk melakukan perjanjian kepada Quraisy atau Muhammad saw.[68]
Sebagian dari para sahabat Nabi karena tidak mampu mencerna isi surat perjanjian ini dan apa yang akan terjadi di belakangnya mereka merasa gelisah dan mengira itu adalah sebuah kerendahan diri. Tetapi sebenarnya penandatanganan surat perjanjian ini adalah sebuah kemenangan besar bagi kaum muslimin, karena kaum musyrikin Mekah sampai pada saat itu tidak menganggap Nabi dan para sahabatnya dan mereka hendak menghabiskan mereka dari atas bumi, sekarang selain mengganggap resmi keberadaan mereka, mereka juga mengadakan hubungan transaksi dengan Nabi layaknya sesama saudara dan pihak yang sedang bertransaksi. Juga dalam surat perjanjian ini terdapat butir yang menjelaskan bahwa para kabilah bebas memilih, mereka ikut Nabi atau kaum Quraisy, dalam hal ini jika kaum muslimin atau kaum Quraisy berperang dengan pihak seperjanjian mereka maka perjanjian ini akan batal. Dimana nantinya kaum Quraisy dengan tidak menjaga syarat tersebut menyebabkan terjadinya Fathu Mekah.[69]
Pada bulan Dzulkaidah tahun ke-7 H disebabkan perundingan Hudaibiyah Nabi berangkat menuju Mekah. Masuknya Nabi dan kaum muslimin ke Masjidil Haram dan pelaksanaan amalan umrah, kemeriahan upacara dan penghormatan yang diberikan kaum muslimin kepada Nabi mereka dalam pandangan kaum Quraisy telah menjelma dengan besar dan kira-kira sudah merupakan hal yang sangat jelas bahwa untuk berhadapan dengan Muhammad saw mereka merasa tidak mampu; dan mereka yang memiliki pikiran lebih jauh ke depan, tahu bahwa priode kebesaran para pemimpin kabilah dan para pedagang sudah berakhir dan sebuah pintu baru telah terbuka di hadapan khalayak masyarakat. Oleh karena itu, dua orang dari pemuka-pemuka mereka, yaitu Khalid bin Walid dan Amr bin Ash, berangkat ke Madinah dan menyatakan keislaman mereka dan menjadi seorang muslim.[70]
Pemasangan Hajar Aswad
Dalam pandangan kaum Arab, Rumah Allah, Kakbah pada masa jahiliah juga memiliki kehormatan tersendiri. Pernah pada suatu tahun, banjir besar terjadi hingga masuk ke dalam Kakbah dan merusak dinding-dinding rumah suci tersebut. Kemudian kaum Quraisy meninggikan dinding-dinding Kakbah, namun ketika mereka hendak memasang Hajar Aswad, terjadi perselisihan diantara para ketua suku kabilah. Para ketua dari setiap suku kabilah berkehendak mendapatkan kehormatan untuk melakukan hal tersebut. Akhirnya suasana pun memanas. Para pemuka suku menyediakan sebuah baskom yang berisi darah lalu memasukkan tangan mereka ke dalamnya. Hal ini adalah ibarat sumpah yang mengharuskan mereka untuk berperang sampai salah satu dari mereka menang. Akhirnya merekapun bersepakat bahwa orang pertama yang memasuki Masjid dari pintu bani Syaibah harus mereka terima sebagai juri dan apa saja yang dikatakannya harus dilakukan. Orang pertama yang memasukinya adalah Muhammad saw. Para pembesar Quraisy berkata dia adalah al-Amin seorang yang dipercaya, setiap keputusannya akan kami terima. Kemudian diceritakan kepadanya apa yang terjadi. Muhammad saw berkata:"Bentangkanlah satu kain" dan ketika hal itu telah dilakukan, kemudian ia meletakkan Hajar Aswad di tengah kain tersebut. Dan berkata: "Setiap kepala suku hendaklah memegang salah satu sudut kain." Ketika mereka memegang setiap sudut kain dan membawanya, kemudian beliau mengambil Hajar Aswad tersebut dan meletakkan di tempatnya dan keputusan ini telah mencegah sebuah pertikaian besar yang dapat menumpahkan darah. [17] Peristiwa ini menunjukkan kesuksesan Nabi Muhammad di tengah-tengah penduduk Mekah.
Menurut pendapat masyhur Syiah Imamiah, pengutusan Nabi saw terjadi pada tanggal 27 Rajab. [18] Nabi Muhammad saw ketika mendekati tahun-tahun pengutusannya mulai mengasingkan diri dari keramaian masyarakat dan beliau mulai sibuk dengan beribadah kepada Tuhannya Yang Maha Esa. Sebulan sekali dalam setiap tahunnya ia mengasingkan diri ke sebuah gunung yang di situ ada sebuah gua bernama Hira dan di sana dia banyak beribadah dan di saat-saat inilah setiap pengemis yang datang kepadanya, ia memberikan makanan kepada mereka. Kemudian dengan berlalunya sebulan penghambaan beliaupun kembali ke Mekah. Dan sebelum pergi ke rumahnya, ia melakukan tawaf, mengitari Kakbah sebanyak tujuh kali atau lebih lalu pergi ke rumahnya. [19]
Di salah satu tahun pengasingannya di gua Hira, ia diutus dan dipilih Allah swt menjadi nabi. Muhammad saw dalam hal ini berkata: Malaikat Jibril datang menghampiriku dan berkata: Bacalah!. Aku berkata: "Aku tidak bisa membaca." Kemudian berkata lagi: Bacalah! Aku berkata: "Apa yang aku baca?" Ia berkata:
﴾اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ﴿
Sebagaimana yang telah masyhur diketahui, beliau diutus menjadi nabi setelah berusia empat puluh tahun. [20]
Rasulullah saw dengan mendapatkan ayat-ayat permulaan surah Al-'Alaq sebagai ayat-ayat pertama yang turun kepadanya, dan setelah diutus menjadi nabi, dia kembali ke Mekah dan pergi ke rumahnya. Ada 3 orang yang tinggal di rumahnya: Khadijah, istrinya, Ali bin Abi Thalib anak pamannya dan Zaid bin Haritsah. [21] Nabi saw pertama mengajak keluarganya untuk mentauhidkan Tuhan dan orang pertama dari para wanita yang menyatakan keimanannya adalah Khadijah istrinya dan dari laki-laki anak pamannya Ali bin Abi Thalib as yang mana pada waktu itu ia berada dalam asuhan dan lindungan Nabi saw. [22] Dalam berbagai sumber madzhab-madzhab Islam lainnya, dari sebagian lainnya seperti Abu Bakar dan Zaid bin Haritsah merupakan orang-orang pertama yang masuk Islam. [23]
Meskipun dakwah dan ajakan pertama Nabi sangatlah terbatas, akan tetapi jumlah kaum muslimin semakin terus bertambah, dan dalam waktu singkat orang-orang yang masuk Islam pergi ke sekitar Mekah dan bersama Nabi saw mendirikan salat. [24]
Baiat 'Aqabah Pertama
6 orang dari kabilah Khazraj di tahun ke 11 kenabian, menemui Nabi pada musim haji dan Nabi menawarkan ajaran agamanya kepada mereka. Kemudian mereka mengikat janji dengan Nabi saw untuk menyampaikan pesan Muhammad saw kepada penduduk masyarakatnya. Dan pada tahun berikutnya, ketika musim haji 12 orang dari penduduk Madinah berbaiat kepada Nabi Muhammad saw di sebuah tempat yang bernama Aqabah. Baiat mereka berisikan beberapa hal berikut: Mereka tidak menyekutukan Tuhan, tidak mencuri, tidak berzina dan tidak membunuh anak-anak mereka, tidak menuduh seseorang, menaati segala perbuatan baik yang diperintahkan Muhammad saw. Nabi saw mengutus seorang da'i bernama Mus'ab bin Umair untuk datang ke Yatsrib bersama mereka, dengan tujuan untuk mengajarkan Alquran kepada penduduk setempat dan menyeru mereka untuk memeluk agama Islam. Sekaligus ingin mengetahui keadaan kota dan sebesar mana sambutan penduduk Yastrib terhadap Islam. [38]
Tahun 13 dari kenabian, pada musim haji, 73 orang terdiri dari laki-laki dan perempuan dari kabilah Khazraj, setelah menyelesaikan manasik haji, mereka berkumpul di Aqabah. Rasulullah bersama dengan pamannya, Abbas bin Abdul Muththalib datang ke hadapan mereka.
Para ahli sejarah menulis bahwa:
Mereka dalam menjawab pernyataan Abbas berkata:
Nabi saw kemudian membaca beberapa ayat dari Alquran dan kemudian berkata, "Aku akan berbaiat dengan kalian bahwa kalian akan melindungiku seperti salah satu orang dari kalian."
Para delegasi dari penduduk Madinah berbaiat kepadanya dan berikrar bahwa mereka memusuhi orang yang memusuhi Rasulullah, dan mencintai orang yang mencintainya. Merekapun bertekad. Siapapun yang memerangi Rasulullah, mereka akan bangkit memeranginya.
Dengan demikian, baiat tersebut disebut dengan baiat al-Harb. Maka setelah pembaiatan tersebut, Nabi memberikan izin kepada kaum muslimin untuk pergi ke kota Yatsrib. Dalam sejarah Islam, mereka yang datang dari Mekah ke Madinah dikenal dengan sebutan Muhajirin dan mereka yang berada di Madinah menyambut kedatangan para muhajirin dinamakan kaum Anshar. [39]